Masyarakat masih memandang keperkasaan atau kejantanan seorang pria diukur dari kekuatan fisiknya, termasuk dalam hal melakukan hubungan seksual. Pria yang mengalami impotensi dianggap "tidak perkasa" lagi. Benarkah?
Menurut dr Nugroho Setiawan MS SpAnd, pandangan di atas sangat keliru dan dapat menimbulkan stigma atau pandangan negatif terhadap seseorang yang mengalami masalah tersebut. Oleh karena itu, istilah impoten atau impotensi sekarang tidak lagi digunakan dan diganti dengan gangguan (disfungsi) ereksi.
Nugroho menjelaskan, gangguan ereksi adalah salah satu bentuk gangguan fungsi seksual, di mana seorang pria tidak mampu untuk memperoleh atau mempertahankan ereksinya selama berhubungan seksual. "Masalah ini bukan hanya dialami pria yang berumur paruh baya ke atas, tetapi juga pria dewasa," jelas Nugroho.
Nugroho pun menyebut ada beberapa faktor penyebab terganggunya ereksi. Secara garis besar, gangguan ereksi dapat disebabkan oleh faktor fisik, psikis (kejiwaan), atau gabungan kedua faktor ini.
"Beberapa jenis penyakit (diabetes, penyakit ginjal), cedera pada saraf tulang belakang dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf, pembuluh darah, otot, atau jaringan ikat pada penis. Obat-obat tertentu, antara lain obat tekanan darah tinggi, obat penekan nafsu makan, dan obat penenang, juga dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan ereksi," jelas androlog dan seksolog dari Rumah Sakit Fatmawati Jakarta ini.
Konsultan seksualitas ini juga menyebut stres, depresi, rasa cemas yang berlebihan, atau rasa takut gagal dalam melakukan hubungan seksual juga dapat mengakibatkan timbulnya gangguan ereksi.
Nugroho menyarankan agar lelaki dapat ereksi maka diperlukan kerja sama yang kompak antara otak, pembuluh darah, saraf, dan hormon dari lelaki tersebut. Proses kerja sama ini diawali dengan adanya rangsangan seksual (sentuhan, ciuman, imajinasi). Rangsangan ini memicu otak untuk mengirimkan sinyal ke penis melalui sistem syaraf. Selanjutnya, sinyal dari otak tersebut menyebabkan dilepaskannya suatu zat kimia yaitu nitrogen oksida (NO). NO ini mengaktifkan enzim guanilat siklase yang akan meningkatkan kadar siklik guanosin monofosfat (cGMP) dalam jaringan erektil penis (korpus kavernosum).
"Peningkatan kadar cGMP mengakibatkan pengenduran otot-otot polos dalam korpus kavernosum penis dan pelebaran pembuluh nadi penis, sehingga memungkinkan lebih banyak darah yang masuk ke penis. Penis jadi membesar, mengeras, dan disebut ereksi," paparnya panjang.
Nugroho mengakui pria yang mengalami gangguan ereksi seringkali merasa dirinya "cacat" dan tidak utuh lagi sebagai seorang lelaki. Masalah ini tak jarang membuat pria terekan, takut, cemas setiap kali hendak melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
"Kondisi stres ini justru akan semakin memperberat gangguan ereksi yang terjadi. Sayangnya banyak yang tidak menyadari bahwa gangguan ereksi merupakan masalah serius yang juga berdampak pada pasangannya," tambahnya.
Menurut Nugroho, sampai kini masih cukup banyak istri yang tidak mengungkapkan masalah ini secara terbuka dengan suaminya karena takut menyinggung atau menyakiti perasaanya. Akibatnya, masalah yang terjadi akan semakin rumit. Karena itu, sangatlah penting untuk melibatkan pasangan suami istri dalam mencari solusi.
Menurut dr Nugroho Setiawan MS SpAnd, pandangan di atas sangat keliru dan dapat menimbulkan stigma atau pandangan negatif terhadap seseorang yang mengalami masalah tersebut. Oleh karena itu, istilah impoten atau impotensi sekarang tidak lagi digunakan dan diganti dengan gangguan (disfungsi) ereksi.
Nugroho menjelaskan, gangguan ereksi adalah salah satu bentuk gangguan fungsi seksual, di mana seorang pria tidak mampu untuk memperoleh atau mempertahankan ereksinya selama berhubungan seksual. "Masalah ini bukan hanya dialami pria yang berumur paruh baya ke atas, tetapi juga pria dewasa," jelas Nugroho.
Nugroho pun menyebut ada beberapa faktor penyebab terganggunya ereksi. Secara garis besar, gangguan ereksi dapat disebabkan oleh faktor fisik, psikis (kejiwaan), atau gabungan kedua faktor ini.
"Beberapa jenis penyakit (diabetes, penyakit ginjal), cedera pada saraf tulang belakang dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf, pembuluh darah, otot, atau jaringan ikat pada penis. Obat-obat tertentu, antara lain obat tekanan darah tinggi, obat penekan nafsu makan, dan obat penenang, juga dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan ereksi," jelas androlog dan seksolog dari Rumah Sakit Fatmawati Jakarta ini.
Konsultan seksualitas ini juga menyebut stres, depresi, rasa cemas yang berlebihan, atau rasa takut gagal dalam melakukan hubungan seksual juga dapat mengakibatkan timbulnya gangguan ereksi.
Nugroho menyarankan agar lelaki dapat ereksi maka diperlukan kerja sama yang kompak antara otak, pembuluh darah, saraf, dan hormon dari lelaki tersebut. Proses kerja sama ini diawali dengan adanya rangsangan seksual (sentuhan, ciuman, imajinasi). Rangsangan ini memicu otak untuk mengirimkan sinyal ke penis melalui sistem syaraf. Selanjutnya, sinyal dari otak tersebut menyebabkan dilepaskannya suatu zat kimia yaitu nitrogen oksida (NO). NO ini mengaktifkan enzim guanilat siklase yang akan meningkatkan kadar siklik guanosin monofosfat (cGMP) dalam jaringan erektil penis (korpus kavernosum).
"Peningkatan kadar cGMP mengakibatkan pengenduran otot-otot polos dalam korpus kavernosum penis dan pelebaran pembuluh nadi penis, sehingga memungkinkan lebih banyak darah yang masuk ke penis. Penis jadi membesar, mengeras, dan disebut ereksi," paparnya panjang.
Nugroho mengakui pria yang mengalami gangguan ereksi seringkali merasa dirinya "cacat" dan tidak utuh lagi sebagai seorang lelaki. Masalah ini tak jarang membuat pria terekan, takut, cemas setiap kali hendak melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
"Kondisi stres ini justru akan semakin memperberat gangguan ereksi yang terjadi. Sayangnya banyak yang tidak menyadari bahwa gangguan ereksi merupakan masalah serius yang juga berdampak pada pasangannya," tambahnya.
Menurut Nugroho, sampai kini masih cukup banyak istri yang tidak mengungkapkan masalah ini secara terbuka dengan suaminya karena takut menyinggung atau menyakiti perasaanya. Akibatnya, masalah yang terjadi akan semakin rumit. Karena itu, sangatlah penting untuk melibatkan pasangan suami istri dalam mencari solusi.